Oleh Pathiya Azzahra
Ma'e, mata air inspirasiku |
Hari itu saat aku sedang berkejaran dengan waktu
menuntaskan tugas kuliah yang menggunung, tiba-tiba gawaiku bergetar.
Drrrrt..drrrrt, tampak di layar nomor ma’e memanggil. Aku mengusapnya pelan,
“halo..” tapi yang menyambut bukan ma’e, melainkan bapak.
Dengan nada berat, “Assalamu’alaikum nak”.
“Iya pak ada apa?”, jawabku mulai khawatir.
“Doakan ma’e ya nak, ma’e sedang di ruang operasi”, sahut
bapak.
Jawaban bapak mengagetkanku.
Jantung rasanya hampir mencelus dari tempatnya. Cemas berbaur rasa takut dan
gugup silih berganti mewarnai ritme suaraku di telepon. Pertanyaan demi
pertanyaan lolos begitu saja dari lisanku, sayangnya bapak memilih tidak
banyak bicara. Hanya memintaku agar banyak berdoa demi keselamatan ma’e. Dengan
fikiran tak menentu aku terduduk, lemas. Lututku tak lagi mampu menopang tubuh
ini. Gerimis mulai turun di pelupuk netra. Aku takut! Takut ma’e pergi
meninggalkan kami. Semakin dalam aku terisak sendirian di sudut kamar. Ingin
rasanya segera melayang ke rumah sakit dimana ma’e terbaring, namun apa daya
hari ini jam kuliahku penuh. Juga beberapa tugas yang harus diserahkan segera.
Sore itu aku bergegas membeli
tiket pulang. Tak sabar rasanya berjumpa wajah ma’e yang selalu teduh. Masih
enggan untuk percaya bahwa yang terbaring di ranjang ini adalah ma’eku. Sosok
yang enerjik dan tak pernah mengeluh.
Alhamdulillah keesokan
harinya aku bisa menemui ma’e di ruang perawatan. Ma’e terlihat segar seperti
biasa, tampak dari senyumnya yang mengembang sempurna dan obrolan kami
yang seperti tak pernah kehabisan tema. Ma’e bercerita awal tahu
penyakitnya saat mandi. Ma’e menyadari
ada yang tak biasa pada salah satu payudara dekat ketiak, semacam benjolan.
Karena khawatir, ma’e memeriksakan diri ke bidan desa yang juga masih terpaut
hubungan saudara. Bidan menyarankan ma’e untuk segera ke rumah sakit setelah
meminta rujukan dari puskesmas terdekat.
Tak sampai hitungan minggu
ma’e akhirnya bisa mendapat akses untuk pemeriksaan lebih lanjut. Melalui salah
satu rumah sakit umum di Yogyakarta, keluarlah diagnosa tumor untuk gumpalan
daging tak normal tersebut. Namun untuk mengetahui tumor itu ganas atau tidak,
ma’e harus menjalani tahap berikutnya yaitu operasi BIOPSI. Sebagian sampel
jaringan dari benjolan itu diangkat untuk diperiksa lebih lanjut. Sehingga di
sinilah kami sekarang. Menemani ma’e proses pemulihan pasca operasi pertamanya.
Rutinitas di RS, menunggu giliran. |
Tak terbaca sedih pada raut
wajah itu, meski aku tahu pasti nyeri bekas sayatan pisau bedah masih menggigit
kulit. Ma’e terus saja bercerita dan bercanda seolah tak terjadi apa-apa
kemarin. Ah, inilah alasan kenapa aku harus menangis. Perempuan tangguh ini
adalah mata air inspirasiku. Rasa-rasanya aku belum siap kehilangan. Aku tak
rela sel-sel ajaib itu merenggut ma’eku!
Bulan berikutnya, hasil
biopsi keluar. Tumor yang numpang hidup di tubuh ma’e termasuk ganas dan
terpaksa harus menjalani pengangkatan salah satu payudara. Bukan hanya
itu, pasca operasi tersebut ma’e mendapat bonus kemoterapi selama 8 kali untuk
mematikan cucu cicit sel ajaib yang masih bersarang di dalam sana. Berat
pastinya beban mental yang harus dihadapi ma’e. Mendapati ada sel ganas yang
terus saja menggerogoti serta menumpang hidup dalam dadanya. Pastilah jauh di
lubuk hati ma’e tersisip cemas, takut juga sedih. Belum lagi efek samping yang
harus dirasa, siapapun pasti tahu kemo bisa membuat pasiennya justru terpuruk
lebih hebat sebab rasa tidak nyaman yang ditimbulkan. Tapi ma’e mampu mengemas
segalanya tampak baik-baik saja.
Ingin rasanya aku menemani
hari-harinya saat menjalani semua proses terapi. Tapi bapak melarangku pulang.
Saat itu belum waktunya libur semester, banyak tugas yang harus aku selesaikan.
Dan bapak sepertinya tahu betul dengan itu. Aku bisa apa? Dalam setiap pinta,
kutitip ma’e pada Allah Yang Maha Menguasai Kehidupan. Aku menyebut namanya
berulang-ulang dalam sedu sedan yang sungguh-sungguh, agar ma’e diberi
kesembuhan dan kesabaran akan penyakitnya.
Pasang Surut Harapan Ma'e
Ada satu hari dimana aku
berkesempatan pulang, menjenguk ma’e di rumah. Aku tergugu melihat penampilan
baru ma’e, ada rasa nyeri yang sangat di dalam sini. Kedua alisnya tak bersisa
lagi, bersih sebersih-bersihnya. Bahkan rambut yang biasanya tergerai indah
kini tak tampak apapun di sana. Raut wajahnya mengesankan kelelahan luar biasa,
mungkin juga sakit, perih dan entah apalagi. Pipi yang merona dulu hanya
menyisakan warna pucat dengan kerut yang makin nampak tegas. Rupanya kemoterapi
telah benar-benar merenggut keayuan ma’eku.
Kemoterapi, salah satu terapi
medis untuk penderita kanker yang kerjanya mematikan sel, bukan hanya sel
kanker tetapi juga sel hidup lainnya. Oleh sebab itu pasien yang sedang
menjalani kemoterapi ini kondisi tubuhnya sangat lemah. Banyak sel sehat ikut
mati karenanya. Efek lain yang kadang pula menyertai yaitu diare parah, kuku
kehitaman, rambut rontok, dan lain-lain.
Ma'e menjalani kemoterapi |
Dalam kondisinya yang kian
terpuruk, aku berusaha mencandai ma’e sebisaku. Jujur saja, aku bisa melihat
gurat-gurat putus asa di sana. Di wajahnya yang kian hari kian layu. Bukan,
bukan cuma rasa sakit yang diderita membuat ma’e seakan hancur dan tak punya
semangat lagi. Tapi, mungkin juga karena kesepian. Rasa tersisih sebab lebih
banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, kesendirian menghadapi nyeri yang
datang berulang, juga kerinduan akan canda tawa kami anak-anak ma’e yang
kini tinggal berbeda kota. Rasa sepi kadang memang jadi pembunuh yang lebih
kejam dari apapun.
Delapan kali kemoterapi
dijalaninya dengan ketabahan. Paling terpenting adalah kehadiran sosok
pahlawan, sang Arjuna yang senantiasa menyemangati. Dialah Bapak. Bapak dengan
sabar menemani saat ma’e di rumah sakit. Antre kamar sampai harus menginap di
penginapan yang disediakan RS sudah biasa. Pernah juga gagal kemo karena
kondisi fisik ma’e yang tak bisa ditebak. Padahal jarak antara rumah dengan RS
umum tempat ma’e terapi sangat jauh. Butuh waktu 4 sampai 5 jam
perjalanan. Padahal antre pendaftaran harus dilakukan pagi hari
menghindari mengularnya antrean, sehingga dini hari sekitar jam 3 bapak dan
ma’e sudah berangkat dari rumah.
Ma'e dan sang Arjuna |
Belum lagi setelah kemoterapi
selesai ma’e harus tetap konsumsi obat setiap hari selama lima tahun. Pastilah
perjungan semacam itu tidak dapat dilalui tanpa dukungan dari orang terdekat.
Satu hal yang aku garis bawahi dan merupakan hal terpenting yang dibutuhkan
pasien kanker adalah jangan biarkan kesepian membunuhnya lebih cepat daripada
kanker itu sendiri. Mungkin itu jugalah yang membuat ma’e bisa bertahan sejauh
ini.
Malah kini ma’e tampak lebih
sehat dan semangat daripada sebelum terdiagnosa kanker. Bahkan ketika bertemu
saudara atau teman penyintas kanker, ma’e terus menyemangati mereka.
Membuktikan bahwa ma’e bisa, insyaAllah mereka juga bisa.
Tahun 2019 adalah tahun
terakhir pengobatan ma’e, alhamdulillah badai itu akhirnya berlalu. Bulan lalu
hasil kontrol dan cek laboratorium terakhir menunjukkan tanda-tanda membaik dan
ma’e dinyatakan sehat. Bulan desember ini adalah bulan terakhir ma’e harus
mengkonsumsi obat.
Doakan semoga ma’e tetap bisa
bertahan. Segala hal akan menjadi mudah saat kita dekat dengan Allah. Dengan
dititipi kanker, ma’e menjadi lebih dekat pada Allah. Tampak dengan
bertambahnya ibadah yang dijalani dan kewajiban serta sunah-sunah yang mulai
ma’e rutinkan. Kekuatan doa, kesungguhan ikhtiar pengobatan, keyakinan akan
kesembuhan, dan motivasi dari keluarga adalah sumber kekuatan untuk bisa
keluar dari kondisi rumit penyintas kanker.