Selasa, 01 Oktober 2019

Sel Ajaib Bernama kanker


Oleh Pathiya Azzahra
Ma'e, mata air inspirasiku
Dia yang datang tanpa permisi. Menggerogoti tubuh hingga rapuh, merusak setiap organ yang disinggahi. Sel ajaib yang disebut orang sebagai pembunuh nomor wahid seantero jagad. Entah sejak kapan pasukan sel ini muncul menyerang salah satu anggota keluarga kami. Ma’e, divonis kanker. Statusku kala itu masih mahasiswi dan berbeda kota dengan ma’e, sehingga komunikasi kami terbatas hanya melalui telepon.
Hari itu saat aku sedang berkejaran dengan waktu menuntaskan tugas kuliah yang menggunung, tiba-tiba gawaiku bergetar. Drrrrt..drrrrt, tampak di layar nomor ma’e memanggil. Aku mengusapnya pelan, “halo..” tapi yang menyambut bukan ma’e, melainkan bapak.
Dengan nada berat, “Assalamu’alaikum nak”.
“Iya pak ada apa?”, jawabku mulai khawatir. 
“Doakan ma’e ya nak, ma’e sedang di ruang operasi”, sahut bapak.

Jawaban bapak mengagetkanku. Jantung rasanya hampir mencelus dari tempatnya. Cemas berbaur rasa takut dan gugup silih berganti mewarnai ritme suaraku di telepon. Pertanyaan demi pertanyaan lolos begitu saja dari lisanku,  sayangnya bapak memilih tidak banyak bicara. Hanya memintaku agar banyak berdoa demi keselamatan ma’e. Dengan fikiran tak menentu aku terduduk, lemas. Lututku tak lagi mampu menopang tubuh ini. Gerimis mulai turun di pelupuk netra. Aku takut! Takut ma’e pergi meninggalkan kami. Semakin dalam aku terisak sendirian di sudut kamar. Ingin rasanya segera melayang ke rumah sakit dimana ma’e terbaring, namun apa daya hari ini jam kuliahku penuh. Juga beberapa tugas yang harus diserahkan segera. 
Sore itu aku bergegas membeli tiket pulang. Tak sabar rasanya berjumpa wajah ma’e yang selalu teduh. Masih enggan untuk percaya bahwa yang terbaring di ranjang ini adalah ma’eku. Sosok yang enerjik dan tak pernah mengeluh.
Alhamdulillah keesokan harinya aku bisa menemui ma’e di ruang perawatan. Ma’e terlihat segar seperti biasa, tampak dari senyumnya yang mengembang sempurna dan obrolan kami  yang seperti tak pernah kehabisan tema. Ma’e bercerita awal tahu penyakitnya  saat mandi. Ma’e menyadari ada yang tak biasa pada salah satu payudara dekat ketiak, semacam benjolan. Karena khawatir, ma’e memeriksakan diri ke bidan desa yang juga masih terpaut hubungan saudara. Bidan menyarankan ma’e untuk segera ke rumah sakit setelah meminta rujukan dari puskesmas terdekat.
Tak sampai hitungan minggu ma’e akhirnya bisa mendapat akses untuk pemeriksaan lebih lanjut. Melalui salah satu rumah sakit umum di Yogyakarta, keluarlah diagnosa tumor untuk gumpalan daging tak normal tersebut. Namun untuk mengetahui tumor itu ganas atau tidak, ma’e harus menjalani tahap berikutnya yaitu operasi BIOPSI. Sebagian sampel jaringan dari benjolan itu diangkat untuk diperiksa lebih lanjut. Sehingga di sinilah kami sekarang. Menemani ma’e proses pemulihan pasca operasi pertamanya.
Rutinitas di RS, menunggu giliran.
Tak terbaca sedih pada raut wajah itu, meski aku tahu pasti nyeri bekas sayatan pisau bedah masih menggigit kulit. Ma’e terus saja bercerita dan bercanda seolah tak terjadi apa-apa kemarin. Ah, inilah alasan kenapa aku harus menangis. Perempuan tangguh ini adalah mata air inspirasiku. Rasa-rasanya aku belum siap kehilangan. Aku tak rela sel-sel ajaib itu merenggut ma’eku!
Bulan berikutnya, hasil biopsi keluar. Tumor yang numpang hidup di tubuh ma’e termasuk ganas dan terpaksa harus menjalani pengangkatan salah satu payudara.  Bukan hanya itu, pasca operasi tersebut ma’e mendapat bonus kemoterapi selama 8 kali untuk mematikan cucu cicit sel ajaib yang masih bersarang di dalam sana. Berat pastinya beban mental yang harus dihadapi ma’e. Mendapati ada sel ganas yang terus saja menggerogoti serta menumpang hidup dalam dadanya. Pastilah jauh di lubuk hati ma’e tersisip cemas, takut juga sedih. Belum lagi efek samping yang harus dirasa, siapapun pasti tahu kemo bisa membuat pasiennya justru terpuruk lebih hebat sebab rasa tidak nyaman yang ditimbulkan. Tapi ma’e mampu mengemas segalanya tampak baik-baik saja. 
Ingin rasanya aku menemani hari-harinya saat menjalani semua proses terapi. Tapi bapak melarangku pulang. Saat itu belum waktunya libur semester, banyak tugas yang harus aku selesaikan. Dan bapak sepertinya tahu betul dengan itu. Aku bisa apa? Dalam setiap pinta, kutitip ma’e pada Allah Yang Maha Menguasai Kehidupan. Aku menyebut namanya berulang-ulang dalam sedu sedan yang sungguh-sungguh, agar ma’e  diberi kesembuhan dan kesabaran akan penyakitnya. 

Pasang Surut Harapan Ma'e

Ada satu hari dimana aku berkesempatan pulang, menjenguk ma’e di rumah. Aku tergugu melihat penampilan baru ma’e, ada rasa nyeri yang sangat di dalam sini. Kedua alisnya tak bersisa lagi, bersih sebersih-bersihnya. Bahkan rambut yang biasanya tergerai indah kini tak tampak apapun di sana. Raut wajahnya mengesankan kelelahan luar biasa, mungkin juga sakit, perih dan entah apalagi. Pipi yang merona dulu hanya menyisakan warna pucat dengan kerut yang makin nampak tegas. Rupanya kemoterapi telah benar-benar merenggut keayuan ma’eku.
Kemoterapi, salah satu terapi medis untuk penderita kanker yang kerjanya mematikan sel, bukan hanya sel kanker tetapi juga sel hidup lainnya. Oleh sebab itu pasien yang sedang menjalani kemoterapi ini kondisi tubuhnya sangat lemah. Banyak sel sehat ikut mati karenanya. Efek lain yang kadang pula menyertai yaitu diare parah, kuku kehitaman, rambut rontok, dan lain-lain.
Ma'e menjalani kemoterapi
Dalam kondisinya yang kian terpuruk, aku berusaha mencandai ma’e sebisaku. Jujur saja, aku bisa melihat gurat-gurat putus asa di sana. Di wajahnya yang kian hari kian layu. Bukan, bukan cuma rasa sakit yang diderita membuat ma’e seakan hancur dan tak punya semangat lagi. Tapi, mungkin juga karena kesepian. Rasa tersisih sebab lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, kesendirian menghadapi nyeri yang datang berulang, juga kerinduan akan canda tawa kami anak-anak  ma’e yang kini tinggal berbeda kota. Rasa sepi kadang memang jadi pembunuh yang lebih kejam dari apapun. 
Delapan kali kemoterapi dijalaninya dengan ketabahan. Paling terpenting adalah kehadiran sosok pahlawan, sang Arjuna yang senantiasa menyemangati. Dialah Bapak. Bapak dengan sabar menemani saat ma’e di rumah sakit. Antre kamar sampai harus menginap di penginapan yang disediakan RS sudah biasa. Pernah juga gagal kemo karena kondisi fisik ma’e yang tak bisa ditebak. Padahal jarak antara rumah dengan RS umum tempat ma’e terapi sangat jauh. Butuh waktu 4 sampai 5 jam perjalanan.  Padahal antre pendaftaran harus dilakukan pagi hari menghindari mengularnya antrean, sehingga dini hari sekitar jam 3 bapak dan ma’e sudah berangkat dari rumah.
Ma'e dan sang Arjuna
Belum lagi setelah kemoterapi selesai ma’e harus tetap konsumsi obat setiap hari selama lima tahun. Pastilah perjungan semacam itu tidak dapat dilalui tanpa dukungan dari orang terdekat. Satu hal yang aku garis bawahi dan merupakan hal terpenting yang dibutuhkan pasien kanker adalah jangan biarkan kesepian membunuhnya lebih cepat daripada kanker itu sendiri. Mungkin itu jugalah yang membuat ma’e bisa bertahan sejauh ini.
Malah kini ma’e tampak lebih sehat dan semangat daripada sebelum terdiagnosa kanker. Bahkan ketika bertemu saudara atau teman penyintas kanker, ma’e terus menyemangati mereka. Membuktikan bahwa ma’e bisa, insyaAllah mereka juga bisa. 
Tahun 2019 adalah tahun terakhir pengobatan ma’e, alhamdulillah badai itu akhirnya berlalu. Bulan lalu hasil kontrol dan cek laboratorium terakhir menunjukkan tanda-tanda membaik dan ma’e dinyatakan sehat. Bulan desember ini adalah bulan terakhir ma’e harus mengkonsumsi obat.
Doakan semoga ma’e tetap bisa bertahan. Segala hal akan menjadi mudah saat kita dekat dengan Allah. Dengan dititipi kanker, ma’e menjadi lebih dekat pada Allah. Tampak dengan bertambahnya ibadah yang dijalani dan kewajiban serta sunah-sunah yang mulai ma’e rutinkan. Kekuatan doa, kesungguhan ikhtiar pengobatan, keyakinan akan kesembuhan, dan motivasi  dari keluarga adalah sumber kekuatan untuk bisa keluar dari kondisi rumit penyintas kanker. 


Sel Ajaib Bernama Kanker



Oleh Patiya Azzahra
Ma'eku, mata air inspirasiku
Dia yang datang tanpa permisi. Menggerogoti tubuh hingga rapuh, merusak setiap organ yang disinggahi. Sel ajaib yang disebut orang sebagai pembunuh nomor wahid seantero jagad. Entah sejak kapan pasukan sel ini muncul menyerang salah satu anggota keluarga kami. Ma’e, divonis kanker. Statusku kala itu masih mahasiswi dan berbeda kota dengan ma’e, sehingga komunikasi kami terbatas hanya melalui telepon.
Hari itu saat aku sedang berkejaran dengan waktu menuntaskan tugas kuliah yang menggunung, tiba-tiba gawaiku bergetar. Drrrrt..drrrrt, tampak di layar nomor ma’e memanggil. Aku mengusapnya pelan, “halo..” tapi yang menyambut bukan ma’e, melainkan bapak.
Dengan nada berat, “Assalamu’alaikum nak”.
“Iya pak ada apa?”, jawabku mulai khawatir. 
“Doakan ma’e ya nak, ma’e sedang di ruang operasi”, sahut bapak.


Jawaban bapak mengagetkanku. Jantung rasanya hampir mencelus dari tempatnya. Cemas berbaur rasa takut dan gugup silih berganti mewarnai ritme suaraku di telepon. Pertanyaan demi pertanyaan lolos begitu saja dari lisanku,  sayangnya bapak memilih tidak banyak bicara. Hanya memintaku agar banyak berdoa demi keselamatan ma’e. Dengan fikiran tak menentu aku terduduk, lemas. Lututku tak lagi mampu menopang tubuh ini. Gerimis mulai turun di pelupuk netra. Aku takut! Takut ma’e pergi meninggalkan kami. Semakin dalam aku terisak sendirian di sudut kamar. Ingin rasanya segera melayang ke rumah sakit dimana ma’e terbaring, namun apa daya hari ini jam kuliahku penuh. Juga beberapa tugas yang harus diserahkan segera. 
Sore itu aku bergegas membeli tiket pulang. Tak sabar rasanya berjumpa wajah ma’e yang selalu teduh. Masih enggan untuk percaya bahwa yang terbaring di ranjang ini adalah ma’eku. Sosok yang enerjik dan tak pernah mengeluh.
Ma'e sedang kemoterapi
Alhamdulillah keesokan harinya aku bisa menemui ma’e di ruang perawatan. Ma’e terlihat segar seperti biasa, tampak dari senyumnya yang mengembang sempurna dan obrolan kami  yang seperti tak pernah kehabisan tema. Ma’e bercerita awal tahu penyakitnya saat mandi. Ma’e menyadari ada yang tak biasa pada salah satu payudara dekat ketiak, semacam benjolan. Karena khawatir, ma’e memeriksakan diri ke bidan desa yang juga masih terpaut hubungan saudara. Bidan menyarankan ma’e untuk segera ke rumah sakit setelah meminta rujukan dari puskesmas terdekat.
Tak sampai hitungan minggu ma’e akhirnya bisa mendapat akses untuk pemeriksaan lebih lanjut. Melalui salah satu rumah sakit umum di Yogyakarta, keluarlah diagnosa tumor untuk gumpalan daging tak normal tersebut. Namun untuk mengetahui tumor itu ganas atau tidak, ma’e harus menjalani tahap berikutnya yaitu operasi BIOPSI. Sebagian sampel jaringan dari benjolan itu diangkat untuk diperiksa lebih lanjut. Sehingga di sinilah kami sekarang. Menemani ma’e proses pemulihan pasca operasi pertamanya.
Tak terbaca sedih pada raut wajah itu, meski aku tahu pasti nyeri bekas sayatan pisau bedah masih menggigit kulit. Ma’e terus saja bercerita dan bercanda seolah tak terjadi apa-apa kemarin. Ah, inilah alasan kenapa aku harus menangis. Perempuan tangguh ini adalah mata air inspirasiku. Rasa-rasanya aku belum siap kehilangan. Aku tak rela sel-sel ajaib itu merenggut ma’eku!
Bulan berikutnya, hasil biopsi keluar. Tumor yang numpang hidup di tubuh ma’e termasuk ganas dan terpaksa harus menjalani pengangkatan salah satu payudara.  Bukan hanya itu, pasca operasi tersebut ma’e mendapat bonus kemoterapi selama 8 kali untuk mematikan cucu cicit sel ajaib yang masih bersarang di dalam sana. Berat pastinya beban mental yang harus dihadapi ma’e. Mendapati ada sel ganas yang terus saja menggerogoti serta menumpang hidup dalam dadanya. Pastilah jauh di lubuk hati ma’e tersisip cemas, takut juga sedih. Belum lagi efek samping yang harus dirasa, siapapun pasti tahu kemo bisa membuat pasiennya justru terpuruk lebih hebat sebab rasa tidak nyaman yang ditimbulkan. Tapi ma’e mampu mengemas segalanya tampak baik-baik saja. 
Menunggu giliran kemoterapi
Ingin rasanya aku menemani hari-harinya saat menjalani semua proses terapi. Tapi bapak melarangku pulang. Saat itu belum waktunya libur semester, banyak tugas yang harus aku selesaikan. Dan bapak sepertinya tahu betul dengan itu. Aku bisa apa? Dalam setiap pinta, kutitip ma’e pada Allah Yang Maha Menguasai Kehidupan. Aku menyebut namanya berulang-ulang dalam sedu sedan yang sungguh-sungguh, agar ma’e  diberi kesembuhan dan kesabaran akan penyakitnya. 

Pasang Surut Harapan Ma’e.

Ada satu hari dimana aku berkesempatan pulang, menjenguk ma’e di rumah. Aku tergugu melihat penampilan baru ma’e, ada rasa nyeri yang sangat di dalam sini. Kedua alisnya tak bersisa lagi, bersih sebersih-bersihnya. Bahkan rambut yang biasanya tergerai indah kini tak tampak apapun di sana. Raut wajahnya mengesankan kelelahan luar biasa, mungkin juga sakit, perih dan entah apalagi. Pipi yang merona dulu hanya menyisakan warna pucat dengan kerut yang makin nampak tegas. Rupanya kemoterapi telah benar-benar merenggut keayuan ma’eku.
Kemoterapi, salah satu terapi medis untuk penderita kanker yang kerjanya mematikan sel, bukan hanya sel kanker tetapi juga sel hidup lainnya. Oleh sebab itu pasien yang sedang menjalani kemoterapi ini kondisi tubuhnya sangat lemah. Banyak sel sehat ikut mati karenanya. Efek lain yang kadang pula menyertai yaitu diare parah, kuku kehitaman, rambut rontok, dan lain-lain
Dalam kondisinya yang kian terpuruk, aku berusaha mencandai ma’e sebisaku. Jujur saja, aku bisa melihat gurat-gurat putus asa di sana. Di wajahnya yang kian hari kian layu. Bukan, bukan cuma rasa sakit yang diderita membuat ma’e seakan hancur dan tak punya semangat lagi. Tapi, mungkin juga karena kesepian. Rasa tersisih sebab lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, kesendirian menghadapi nyeri yang datang berulang, juga kerinduan akan canda tawa kami anak-anak  ma’e yang kini tinggal berbeda kota. Rasa sepi kadang memang jadi pembunuh yang lebih kejam dari apapun. 
Ma'e dan sang Arjuna
Delapan kali kemoterapi dijalaninya dengan ketabahan. Paling terpenting adalah kehadiran sosok pahlawan, sang Arjuna yang senantiasa menyemangati. Dialah Bapak. Bapak dengan sabar menemani saat ma’e di rumah sakit. Antre kamar sampai harus menginap di penginapan yang disediakan RS sudah biasa. Pernah juga gagal kemo karena kondisi fisik ma’e yang tak bisa ditebak. Padahal jarak antara rumah dengan RS umum tempat ma’e terapi sangat jauh. Butuh waktu 4 sampai 5 jam perjalanan.  Padahal antre pendaftaran harus dilakukan pagi hari menghindari mengularnya antrean, sehingga dini hari sekitar jam 3 bapak dan ma’e sudah berangkat dari rumah.
Belum lagi setelah kemoterapi selesai ma’e harus tetap konsumsi obat setiap hari selama lima tahun. Pastilah perjungan semacam itu tidak dapat dilalui tanpa dukungan dari orang terdekat. Satu hal yang aku garis bawahi dan merupakan hal terpenting yang dibutuhkan pasien kanker adalah jangan biarkan kesepian membunuhnya lebih cepat daripada kanker itu sendiri. Mungkin itu jugalah yang membuat ma’e bisa bertahan sejauh ini.
Malah kini ma’e tampak lebih sehat dan semangat daripada sebelum terdiagnosa kanker. Bahkan ketika bertemu saudara atau teman penyintas kanker, ma’e terus menyemangati mereka. Membuktikan bahwa ma’e bisa, insyaAllah mereka juga bisa. 
Tahun 2019 adalah tahun terakhir pengobatan ma’e, alhamdulillah badai itu akhirnya berlalu. Bulan lalu hasil kontrol dan cek laboratorium terakhir menunjukkan tanda-tanda membaik dan ma’e dinyatakan sehat. Bulan desember ini adalah bulan terakhir ma’e harus mengkonsumsi obat.
Doakan semoga ma’e tetap bisa bertahan. Segala hal akan menjadi mudah saat kita dekat dengan Allah. Dengan dititipi kanker, ma’e menjadi lebih dekat pada Allah. Tampak dengan bertambahnya ibadah yang dijalani dan kewajiban serta sunah-sunah yang mulai ma’e rutinkan. Kekuatan doa, kesungguhan ikhtiar pengobatan, keyakinan akan kesembuhan, dan motivasi  dari keluarga adalah sumber kekuatan untuk bisa keluar dari kondisi rumit penyintas kanker. 
"Sel Ajaib Bernama Kanker"
Oleh Patiya Azzahra

Dia yang datang tanpa permisi. Menggerogoti tubuh hingga rapuh, merusak setiap organ yang disinggahi. Sel ajaib yang disebut orang sebagai pembunuh nomor wahid seantero jagad. Entah sejak kapan pasukan sel ini muncul menyerang salah satu anggota keluarga kami. Ma’e, divonis kanker. Statusku kala itu masih mahasiswi dan berbeda kota dengan ma’e, sehingga komunikasi kami terbatas hanya melalui telepon.
Hari itu saat aku sedang berkejaran dengan waktu menuntaskan tugas kuliah yang menggunung, tiba-tiba gawaiku bergetar. Drrrrt..drrrrt, tampak di layar nomor ma’e memanggil. Aku mengusapnya pelan, “halo..” tapi yang menyambut bukan ma’e, melainkan bapak.
Dengan nada berat, “Assalamu’alaikum nak”.
“Iya pak ada apa?”, jawabku mulai khawatir. 
“Doakan ma’e ya nak, ma’e sedang di ruang operasi”, sahut bapak.
Jawaban bapak mengagetkanku. Jantung rasanya hampir mencelus dari tempatnya. Cemas berbaur rasa takut dan gugup silih berganti mewarnai ritme suaraku di telepon. Pertanyaan demi pertanyaan lolos begitu saja dari lisanku,  sayangnya bapak memilih tidak banyak bicara. Hanya memintaku agar banyak berdoa demi keselamatan ma’e. Dengan fikiran tak menentu aku terduduk, lemas. Lututku tak lagi mampu menopang tubuh ini. Gerimis mulai turun di pelupuk netra. Aku takut! Takut ma’e pergi meninggalkan kami. Semakin dalam aku terisak sendirian di sudut kamar. Ingin rasanya segera melayang ke rumah sakit dimana ma’e terbaring, namun apa daya hari ini jam kuliahku penuh. Juga beberapa tugas yang harus diserahkan segera. 
Sore itu aku bergegas membeli tiket pulang. Tak sabar rasanya berjumpa wajah ma’e yang selalu teduh. Masih enggan untuk percaya bahwa yang terbaring di ranjang ini adalah ma’eku. Sosok yang enerjik dan tak pernah mengeluh.
Alhamdulillah keesokan harinya aku bisa menemui ma’e di ruang perawatan. Ma’e terlihat segar seperti biasa, tampak dari senyumnya yang mengembang sempurna dan obrolan kami  yang seperti tak pernah kehabisan tema. Ma’e bercerita awal tahu penyakitnya saat mandi. Ma’e menyadari ada yang tak biasa pada salah satu payudara dekat ketiak, semacam benjolan. Karena khawatir, ma’e memeriksakan diri ke bidan desa yang juga masih terpaut hubungan saudara. Bidan menyarankan ma’e untuk segera ke rumah sakit setelah meminta rujukan dari puskesmas terdekat.
Tak sampai hitungan minggu ma’e akhirnya bisa mendapat akses untuk pemeriksaan lebih lanjut. Melalui salah satu rumah sakit umum di Yogyakarta, keluarlah diagnosa tumor untuk gumpalan daging tak normal tersebut. Namun untuk mengetahui tumor itu ganas atau tidak, ma’e harus menjalani tahap berikutnya yaitu operasi BIOPSI. Sebagian sampel jaringan dari benjolan itu diangkat untuk diperiksa lebih lanjut. Sehingga di sinilah kami sekarang. Menemani ma’e proses pemulihan pasca operasi pertamanya.
Tak terbaca sedih pada raut wajah itu, meski aku tahu pasti nyeri bekas sayatan pisau bedah masih menggigit kulit. Ma’e terus saja bercerita dan bercanda seolah tak terjadi apa-apa kemarin. Ah, inilah alasan kenapa aku harus menangis. Perempuan tangguh ini adalah mata air inspirasiku. Rasa-rasanya aku belum siap kehilangan. Aku tak rela sel-sel ajaib itu merenggut ma’eku!
Bulan berikutnya, hasil biopsi keluar. Tumor yang numpang hidup di tubuh ma’e termasuk ganas dan terpaksa harus menjalani pengangkatan salah satu payudara.  Bukan hanya itu, pasca operasi tersebut ma’e mendapat bonus kemoterapi selama 8 kali untuk mematikan cucu cicit sel ajaib yang masih bersarang di dalam sana. Berat pastinya beban mental yang harus dihadapi ma’e. Mendapati ada sel ganas yang terus saja menggerogoti serta menumpang hidup dalam dadanya. Pastilah jauh di lubuk hati ma’e tersisip cemas, takut juga sedih. Belum lagi efek samping yang harus dirasa, siapapun pasti tahu kemo bisa membuat pasiennya justru terpuruk lebih hebat sebab rasa tidak nyaman yang ditimbulkan. Tapi ma’e mampu mengemas segalanya tampak baik-baik saja. 
Ingin rasanya aku menemani hari-harinya saat menjalani semua proses terapi. Tapi bapak melarangku pulang. Saat itu belum waktunya libur semester, banyak tugas yang harus aku selesaikan. Dan bapak sepertinya tahu betul dengan itu. Aku bisa apa? Dalam setiap pinta, kutitip ma’e pada Allah Yang Maha Menguasai Kehidupan. Aku menyebut namanya berulang-ulang dalam sedu sedan yang sungguh-sungguh, agar ma’e  diberi kesembuhan dan kesabaran akan penyakitnya. 
Ada satu hari dimana aku berkesempatan pulang, menjenguk ma’e di rumah. Aku tergugu melihat penampilan baru ma’e, ada rasa nyeri yang sangat di dalam sini. Kedua alisnya tak bersisa lagi, bersih sebersih-bersihnya. Bahkan rambut yang biasanya tergerai indah kini tak tampak apapun di sana. Raut wajahnya mengesankan kelelahan luar biasa, mungkin juga sakit, perih dan entah apalagi. Pipi yang merona dulu hanya menyisakan warna pucat dengan kerut yang makin nampak tegas. Rupanya kemoterapi telah benar-benar merenggut keayuan ma’eku.

Pasang surut harapan ma'e

Kemoterapi, salah satu terapi medis untuk penderita kanker yang kerjanya mematikan sel, bukan hanya sel kanker tetapi juga sel hidup lainnya. Oleh sebab itu pasien yang sedang menjalani kemoterapi ini kondisi tubuhnya sangat lemah. Banyak sel sehat ikut mati karenanya. Efek lain yang kadang pula menyertai yaitu diare parah, kuku kehitaman, rambut rontok, dan lain-lain. 
Saat kemoterapi

Dalam kondisinya yang kian terpuruk, aku berusaha mencandai ma’e sebisaku. Jujur saja, aku bisa melihat gurat-gurat putus asa di sana. Di wajahnya yang kian hari kian layu. Bukan, bukan cuma rasa sakit yang diderita membuat ma’e seakan hancur dan tak punya semangat lagi. Tapi, mungkin juga karena kesepian. Rasa tersisih sebab lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, kesendirian menghadapi nyeri yang datang berulang, juga kerinduan akan canda tawa kami anak-anak  ma’e yang kini tinggal berbeda kota. Rasa sepi kadang memang jadi pembunuh yang lebih kejam dari apapun. 

Delapan kali kemoterapi dijalaninya dengan ketabahan. Paling terpenting adalah kehadiran sosok pahlawan, sang Arjuna yang senantiasa menyemangati. Dialah Bapak. Bapak dengan sabar menemani saat ma’e di rumah sakit. Antre kamar sampai harus menginap di penginapan yang disediakan RS sudah biasa. Pernah juga gagal kemo karena kondisi fisik ma’e yang tak bisa ditebak. Padahal jarak antara rumah dengan RS umum tempat ma’e terapi sangat jauh. Butuh waktu 4 sampai 5 jam perjalanan.  Padahal antre pendaftaran harus dilakukan pagi hari menghindari mengularnya antrean, sehingga dini hari sekitar jam 3 bapak dan ma’e sudah berangkat dari rumah.
Antre untuk kemoterapi

Belum lagi setelah kemoterapi selesai ma’e harus tetap konsumsi obat setiap hari selama lima tahun. Pastilah perjungan semacam itu tidak dapat dilalui tanpa dukungan dari orang terdekat. Satu hal yang aku garis bawahi dan merupakan hal terpenting yang dibutuhkan pasien kanker adalah jangan biarkan kesepian membunuhnya lebih cepat daripada kanker itu sendiri. Mungkin itu jugalah yang membuat ma’e bisa bertahan sejauh ini.
Ma'e dan Sang Arjuna

Malah kini ma’e tampak lebih sehat dan semangat daripada sebelum terdiagnosa kanker. Bahkan ketika bertemu saudara atau teman penyintas kanker, ma’e terus menyemangati mereka. Membuktikan bahwa ma’e bisa, insyaAllah mereka juga bisa. 
Tahun 2019 adalah tahun terakhir pengobatan ma’e, alhamdulillah badai itu akhirnya berlalu. Bulan lalu hasil kontrol dan cek laboratorium terakhir menunjukkan tanda-tanda membaik dan ma’e dinyatakan sehat. Bulan desember ini adalah bulan terakhir ma’e harus mengkonsumsi obat.
Doakan semoga ma’e tetap bisa bertahan. Segala hal akan menjadi mudah saat kita dekat dengan Allah. Dengan dititipi kanker, ma’e menjadi lebih dekat pada Allah. Tampak dengan bertambahnya ibadah yang dijalani dan kewajiban serta sunah-sunah yang mulai ma’e rutinkan. Kekuatan doa, kesungguhan ikhtiar pengobatan, keyakinan akan kesembuhan, dan motivasi  dari keluarga adalah sumber kekuatan untuk bisa keluar dari kondisi rumit penyintas kanker. 

Jumat, 16 Mei 2014



Antara Kita Dan Mereka
ASSALAMU’ALAIKUM WR.WB
Bagaimana kabar sahabat? Sudahkah bersyukur hari ini? Ya...janganlah berhenti bersyukur selama saluran pernafasan kita belum berhenti bekerja. Bersyukurlah kawan, karena 1 saja nikmat itu di ambil dari kita, pasti kenikmatan yang selama ini kita rasakan aka berkurang pula. Salah satu yang membuat kita semakin bertambah kesyukuran adalah, saat kita melihat mereka....mereka yang penuh dengan kekurangan, mereka yang disisihkan, mereka yang terasing. Selama ini, kita bersyukur, memiliki indra lengkap untuk bisa merasakan nikmat karunia dari Sang Pencipta. Kita bersyukur masih memiliki orang2 yang senantiasa memperhatikan kesehatan kita, mereka yang senantiasa mencemaskan kita tatkala kita jauh, mereka orang tua kita. Bersyukurlah kawan kita masih memiliki mereka yang selalu hadir dalam suka dan duka kala kita jauh dari orang tua, merekalah sahabat kita. Bersyukurlah kawan, kita dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dengan kita.
Kawan, ingatkah engkau saat keluhan demi keluhan tanpa hitung kita lontarkan tanda tak syukur, kita terus mengeluh dan mengeluh, kadang marah bahkan merintih histeris dan menangis saat diuji. Namun tengoklah mereka kawan, mereka yang serba kekurangan namun masih memiliki senyum utuk bersodakoh, senyuman yang ingin membuat kita mengerti, bahwa dibalik segala kekurangan yang mereka miliki, masih ada secercah senyuman tulus tanpa keluhan.
Aku teringat hari itu, tatkala teman-teman LDF FIK UNISSULA baksos ke salah satu panti asuhan, tempat anak-aak penyandang cacat. Kami disambut dengan senyuman, ya senyuman itu yang tak pernah kita lupa, setelah selesai pembukaan aku masuk ke dalam, sempat ragu kakiku melangkah untuk maju, ku saksikan beberapa anak yang tetap berada di ranjang mereka karena selain cacat mental, kaki merekapun tak mampu untuk menopang tubuhnya yang rapuh, miris, tak kuat hati ini untuk melihat mereka, namun tatkala ku pandangi wajah-wajah itu, penuh dengan harapan, harapan untuk diperhatikan, harapan untuk ikut bermain dengan yang lain, akupun masuk dan menyapa mereka, matapun tak mampu membendung butiran bening yang sedari tadi aku tahan di pelupuk mata, senyuman itu, aku sangat teringat, aku sapa salah satu dari mereka, dan aku dekati ia, aku pegang tangannya, senang, ya...ku temukan rona wajah itu, tampak senang saat aku pegang tangannya, hanya bahasa isyarat yang ia katakan padaku, karena tak mampu mengucapkan sepatah katapun, hanya senyuman dan bahasa hati, aku bilang bahasa hati, lewat mata itu mereka ingin bicara, ia menarik perlahan tanganku, entah apa maksudnya, aku ikuti apa yang ia inginkan, agak takut, ya mungkin itu yang aku rasakan awalnya, ingin aku lepaskan tapi sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan, ia rangkul pundakku, dan inilah yag ia inginkan, pelukan, ia ingin di peluk, mataku semakin basah dengan air mata. Aku sadar mereka butuh kasih sayang dari kita, mereka butuh belaian hangan kasih kita.
Kawan, selama ini kita dikelilingi oleh kebahagiaan, serba kecukupan, bukan hanya pangan, sandang , dan papan, namun penuh dengan kasih sayang, maka bersyukurlah, karena disekeliling kita masih banyak mereka yang serba kekurangan. Maka bukalah mata hati kita sahabat, betapa Allah menyayangi kita, kita masih mampu melihat, mampu merasakan, dan bersyukurlah bagi yang mampu terenyuh dengan tulisan ini meski sedikit, setidaknya, mampu membuka jiwa yang sempat tertutup oleh kefanaan yang membuat kita mengeluh, karena keluhan tanda tak syukur. Saat aku mulai menulis ini, aku bayangkan wajah itu, wajah yang sampai sekarang ku rindu, wajah yang membuatku tak henti untuk berucap syukur karena nikmat yang Allah berikan padaku, saat sedikit nikmat yang aku miliki di ambil Allah, aku teringat wajah itu, wajah-wajah yang senantiasa tersenyum meski keingingan besarnya belum sepenuhnya terwujud. Sekali lagi kawan...bersyukurlah....syukron semoga bermanfaat.
WASSALAMU’ALAIKUM WR WB

Rabu, 06 Februari 2013

cerita hari ini

NEGERI DI BALIK AWAN.......
Negeri di balik awan, negeri atas awan, atau desa di balik naungan awan? Entahlah ada ide mungkin untuk memberi judul tulisan ini? Entahlah ini sebuah tulisan atau sekedar buah cerita dari seorang amatiran. Sesuai judul di atas aku akan bercerita tentang sebuah tempat, dimana mata memandang, ia takkan berkedip, dan bibir akan senantiasa terlantun ucapan “Maha Suci Allah” Tampak ketika suasana cerah, ketika mentari mulai nampak mengintip malu2 dari balik bukit, hingga menampakkan wujudnya menyinari alam semesta. Sinar itu mampu memantulkan cahaya yang luar biasa,dan menyorot ke arah desaku. Tampak mengagumkan tatkala kumpulan awan mengerumuni desa tepat di bawah gunung. Maka dari atas bukit akan tampak lautan awan yang membentang luas, dimana ada gunung yang menaunginya. Ketika suasana mendung, kumpulan kabit tebal seringkali menyelimuti desa kami, hingga jalan-jalan tak tampak lagi, suasana amat gelap, hawa dingin amat menusuk hingga pori-pori. Itulah tempat dimana aku lahir, di sebuah desa pelosok , tepat berada di lereng gunung sindoro. Pemandangan mengesankan, dimana aku tak kan pernah bosan bersyukur. Sekarang aku lebih merindukan tempat itu, karena kini aku telah berada nun jauh di tengah kota untuk merantau, mencari ilmu demi sebuah harapan dan cita2 besar. Pulang kampung adalah sebuah pilihan jika aku telah merasa jenuh di kota, di sana berbagai inspirasi akan segera muncul, pikiran yang mendidih akan segera terbasuh oleh angin kesejukan khas pegunungan. Teringat memory ku tentang kehidupan disana, aktifitas penduduknya yang tak pernah tampak lelah. Suasana pagi amatlah mengesankan, tatkala penduduk beragkat untuk mengais sedikit rizki dari buah kerja keras mereka di ladang. Senyumku mengembang, ketika melihat beberapa petani saling bertemu di jalan, tak kan pernah kelewatan untuk saling menyapa dan bercengkrama sebelum melanjutkan perjalanan panjang menuju alas yang tidaklah dekat jaraknya dan tiadalah mudah rute perjalanannya. Namun semua dijalankan seakan tiada beban dengan bekal senyum tulus dan ikhlas. Hal itulah yang menjadi nilai tersendiri bagi orang desa, keramahan. Tidak seperti orang kota, yang acuh tak acuh dengan orang lain. Satu hal yang kurang dari desa kami adalah cara mereka memadang pendidikan, dalam benak mereka telah terlintas pikiran, “Untuk apa pendidikan tinggi, toh akhirnya sama saja mencari kerja”. Dan nikah muda adalah hal yang wajar bagi desa kami. Itulah yang menjadi motivasiku untuk bisa membuatperubahan besar, perubahan besar bagi desa ini. Yaitu merubah cara pandang masyarakat tentang pentingnya pendidikan, yang dapat menjadi gerbang menuju perbaikan ekonomi dan kualitas hidup. Selain itu, Sebenarnya banyak kekayaan yang dapat dijadikan penghasilan untuk menambah biaya hidup mereka, yaitu wisata alam. Banyak kekayaan alam yang terkandung dan dapat dijadikan pariwisata jika dikelola dengan baik, namun segala hal tampak terbiarkan dan tak terurus. Semoga atas doa restu semua orang yang, mampu menjadi motivasiku untuk menggapai mimpi itu. Amiiin.

Jumat, 30 Desember 2011

LEMBAGA DAKWAH...? HIH SEREEM.....!!!

Suatu hari dua orang mahasiswa sedang berbincang-bincang di depan masjid kampus
“Hai bro bay the way mau ikut lembaga dakwah nggak?”, tanya salah seorang diantara mereka
“lembaga dakwah? Ogah ah “
“Emang kenapa?”
“Serem.........”
“Maksudnya?”
“Iya serem...mereka yang ikut kayak gituan, adanya ke masjid mulu. Bawanya alqur’an kemana-mana, hari-harinya kajian terus and mikirnya akhirat mulu. Banyak juga kan teroris berasal dari mantan orang yang ada di lembaga dakwah”.

Lembaga Dakwah SEREM?...Benarkah?. Bahkan lebih parah lagi, ada juga yang bilang
“Lembaga dakwah nggak gaul”
Atau..... “lembaga dakwah kuno”
bahkan!....... “Orang-orang yang ada di lembaga dakwah kuper”.
So ........percayakah kamu dengan pernyataan-pernyataan itu? Yah terserah aja...jawabannya hanya satu....BUKTIKANLAH SENDIRI! Jg hanya karena kata orang, karena setiap orang punya mulut untuk berpendapat but....kebenaran hanya bisa DIBUKTIKAN!!!. UPS......jangan salah....kenyataannya jauh seperti apa yang banyak di kira orang-orang. Bukti yang ada, mereka yang berkelut di medan dahwah di zaman ini adalah orang-orang yang penuh visi and misi, mereka yang menyukai perubahan and jangan salah...mereka juga gaul lho...! kalau pada mikirnya temen-temen lembaga dakwah bisanya cuman ngaji doang, buktinya banyak juga lho artis yang notabennya dari lembaga dakwah, contoh lain misal nasyid JUSTICE VOICE, itu juga dari temen-temen lembaga dakwah. Yang nggak kalah lagi banyak penulis-penulis ternama yang muncul karena buah dari lembaga dakwah. So terbukti kan kalau temen-temen lembaga dakwah nggak kalah ma anak muda zaman sekarang..TAPI.........meski teman-teman yang ada di lembaga dakwah amat menyukai perubahan di dunia IPTEK namun gerak mereka tetaplah berada dijalan yang diatur ma Sang Pencipta.
Kawan-kawan semua...selain pernyataan-pernyataan yang sudah disebutkan diatas ada juga anak muda yang ngrasa rendah hatinya keblabasan, pas di tanya pendapatnya tentang lembaga dakwah, jawabannya
“Wah teman-teman lembaga dakwah tu pada pinter-pinter ngaji, aku nggak mungkinlah...jus amma ja nggak lulus...”,
selain itu ada juga yang bilang “ Belum siap gue ikut lembaga dakwah, nggak kuat. Solat ja amburadul. Mungkin ntar ikut, low gue dah insaf”. Hayooo ngaku...apa kalian termasuk yang berpendapat kayak gitu?, kalau iya coba deh kita telaaah lebih jauh lagi,kalau pada mikirnya belum siap, kapan siapnya...?apa siapnya lw udah deket ama....(sensor) sekarang coba fikir, dulu waktu kita baru lahir apa kita langsung bisa berjalan? Langsung bisa konser and jadi artis? Tentu jawabannya adalah TIDAK MUNGKIN!!!. YA...semuanya ada proses yang namanya tumbuh kembang, dari bayi hingga sekarang, kita tidak pernah lepas dengan yang namanya belajar. Entah itu belajar berjalan, ngomong, hingga berfikir. Semuanya pasti tak jauh dari suatu proses pembelajaran, so...begitu juga teman-teman lembaga dakwah. Mereka tak juga lepas dari yang namanya proses pembelajaran. Dari mulai mereka yang nggak tahu apa-apa tentang agama, menjadi mereka yang lebih kompeten di bidang agama. Mareka Belajar untuk terus memperbaiki iman, belajar untuk memperbaiki bacaan alqu’an, and belajar juga untuk terus memperdalam dunia ilmu pengetahuan global. Karena mereka terus dan terus merasa haus akan ilmu, merasa lapar akan pengetahuan dan terus berusaha meningkatkan potensi bukan hanya di bidang ilmu agama aja tapi juga bagaimana caranya untuk bisa menembus dunia ilmu pengetahuan hingga tak kalah dengan orang-orang kafir. So....jagan pernah berfikiran lagi ya kalau mereka yag ada di lembaga dakwah adalah orang-orang kuper and pada pinter-pinter ngaji doang, justru kamu-kamu yang ngerasa belum bisa and pingin memperdalam ilmu agama ayo bersama-sama belajar dengan kawan-kawan kita di lembaga dakwah. Oh ya satu lagi...teman2 lembaga dakwah juga tak lepas dari gunjingan yg kadang bilang “Katanya lembaga dakwah,harusnya menjadi contoh yang baik tapi kok sifatnya sama ja kayak orang yang nggak di lembaga dakwah”, atau “orang-orang lembaga dakwah yang cewe’ pake jilbab gedhe yang cwo’ pake peci kemana-mana tapi apa dalemnya nggak beda ma yg nggak ikut di lembaga dakwah malah lebih parah...!”, Wah....wah sampai segitunya orang berpikir tentang temen2 di lembaga dakwah. Lagi2 kita kembali pada proses pembelajaran, tahu juga khan tidak semua temen2 di lembaga dakwah dari latar belakang muslim kentel yg sudah tajir di bidang agama islam. Justru target teman2 lembaga dakwah adl orang2 yg belum ngerti ama agama and di bimbing untuk itu, and semua tak lepas lagi2 dari suatu PROSES, and...teman2 lembaga dakwah juga manusia yg tak lepas dari kekhilafan and kealpaan. Dan jangan salah teman2 di lembaga dakwah masing2 berbeda ada yg udah tajir di bidang agama, ada juga yg kurang nah...disitulah enaknya teman2 lembaga dakwah saling mengingatkan and terus dan terus belajar untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari, agar menjadi orang2 yg beruntung. Doa mereka “Ya ALLAH semoga hari ini lebih baik dari kemarin”, begitu juga seterusnya.
INGET...! teman-teman lembaga dakwah bukanlah tunas-tunas teroris, justru merekalah yang akan memeranginya. Dakwah tidaklah harus melalui peperangan dengan senjata atau nuklir, tapi dakwah sesungguhnya adalah peperangan melawan orang-orang kafir dengan ilmu. So...ayo sobat kita berlomba-lomba mencari ilmu sebanyak-banyaknya untuk melawan orang-orang kafir.
Akhir kata dari penulis,” jangan bosan-bosan untuk memperbaiki diri baik dalam agama maupun perbaikan dalam ilmu pengetahuan. Kita semua pasti mampu memenangkan pertempuran besar melawan kebodohan dan ketidaktahuan.” GHIROH......!

SALAM DARI PENULIS
(P.A)

Jumat, 19 Agustus 2011

puisi (syukur)


Bersyukurlah

Bersyukurlah karena engkau tidak memiliki semua yang di inginkan
Jika kau memiliki semuanya, maka apalagi yang hendak dicari?

Bersyukurlah saat kau tidak mengetahui sesuatu
Karena itu memberi kesempatan padamu untuk belajar

Bersyukurlah atas masa-masa sulit yang engkau hadapi, karena selama itulah kau tumbuh menjadi dewasa

Bersyukurlah atas keterbatasan yang engkau miliki, karena hal itu memberimu kesempatan untuk memperbaiki diri

Bersyukurlah atas tantangan baru,karena hal itu akan membangun kekuatan dan karaktermu

Bersyukurlah ketika engkau merasa lelah dan tak berdaya, karena itu berarti engkau telah membuat suatu perbedaan

Bersyukurlah atas kesalahan-kesalahan yang kau perbuat, karena hal itu akan memberimu pelajaran yang sangat berharga


Adalah mudah untuk bersyukur atas hal-hal yang baik
Kehidupan yang bermakna adalah bagi mereka yang juga bersyukur atas kesulitan yang tengah dihadapi
Rasa syukur dapat mengubah hal negative enjadi positif
Berusahalah bersyukur atas kesulitan yang engkau hadapi
Sehingga kesulitan itu akan menjadi berkah bagimu…..