Selasa, 01 Oktober 2019

"Sel Ajaib Bernama Kanker"
Oleh Patiya Azzahra

Dia yang datang tanpa permisi. Menggerogoti tubuh hingga rapuh, merusak setiap organ yang disinggahi. Sel ajaib yang disebut orang sebagai pembunuh nomor wahid seantero jagad. Entah sejak kapan pasukan sel ini muncul menyerang salah satu anggota keluarga kami. Ma’e, divonis kanker. Statusku kala itu masih mahasiswi dan berbeda kota dengan ma’e, sehingga komunikasi kami terbatas hanya melalui telepon.
Hari itu saat aku sedang berkejaran dengan waktu menuntaskan tugas kuliah yang menggunung, tiba-tiba gawaiku bergetar. Drrrrt..drrrrt, tampak di layar nomor ma’e memanggil. Aku mengusapnya pelan, “halo..” tapi yang menyambut bukan ma’e, melainkan bapak.
Dengan nada berat, “Assalamu’alaikum nak”.
“Iya pak ada apa?”, jawabku mulai khawatir. 
“Doakan ma’e ya nak, ma’e sedang di ruang operasi”, sahut bapak.
Jawaban bapak mengagetkanku. Jantung rasanya hampir mencelus dari tempatnya. Cemas berbaur rasa takut dan gugup silih berganti mewarnai ritme suaraku di telepon. Pertanyaan demi pertanyaan lolos begitu saja dari lisanku,  sayangnya bapak memilih tidak banyak bicara. Hanya memintaku agar banyak berdoa demi keselamatan ma’e. Dengan fikiran tak menentu aku terduduk, lemas. Lututku tak lagi mampu menopang tubuh ini. Gerimis mulai turun di pelupuk netra. Aku takut! Takut ma’e pergi meninggalkan kami. Semakin dalam aku terisak sendirian di sudut kamar. Ingin rasanya segera melayang ke rumah sakit dimana ma’e terbaring, namun apa daya hari ini jam kuliahku penuh. Juga beberapa tugas yang harus diserahkan segera. 
Sore itu aku bergegas membeli tiket pulang. Tak sabar rasanya berjumpa wajah ma’e yang selalu teduh. Masih enggan untuk percaya bahwa yang terbaring di ranjang ini adalah ma’eku. Sosok yang enerjik dan tak pernah mengeluh.
Alhamdulillah keesokan harinya aku bisa menemui ma’e di ruang perawatan. Ma’e terlihat segar seperti biasa, tampak dari senyumnya yang mengembang sempurna dan obrolan kami  yang seperti tak pernah kehabisan tema. Ma’e bercerita awal tahu penyakitnya saat mandi. Ma’e menyadari ada yang tak biasa pada salah satu payudara dekat ketiak, semacam benjolan. Karena khawatir, ma’e memeriksakan diri ke bidan desa yang juga masih terpaut hubungan saudara. Bidan menyarankan ma’e untuk segera ke rumah sakit setelah meminta rujukan dari puskesmas terdekat.
Tak sampai hitungan minggu ma’e akhirnya bisa mendapat akses untuk pemeriksaan lebih lanjut. Melalui salah satu rumah sakit umum di Yogyakarta, keluarlah diagnosa tumor untuk gumpalan daging tak normal tersebut. Namun untuk mengetahui tumor itu ganas atau tidak, ma’e harus menjalani tahap berikutnya yaitu operasi BIOPSI. Sebagian sampel jaringan dari benjolan itu diangkat untuk diperiksa lebih lanjut. Sehingga di sinilah kami sekarang. Menemani ma’e proses pemulihan pasca operasi pertamanya.
Tak terbaca sedih pada raut wajah itu, meski aku tahu pasti nyeri bekas sayatan pisau bedah masih menggigit kulit. Ma’e terus saja bercerita dan bercanda seolah tak terjadi apa-apa kemarin. Ah, inilah alasan kenapa aku harus menangis. Perempuan tangguh ini adalah mata air inspirasiku. Rasa-rasanya aku belum siap kehilangan. Aku tak rela sel-sel ajaib itu merenggut ma’eku!
Bulan berikutnya, hasil biopsi keluar. Tumor yang numpang hidup di tubuh ma’e termasuk ganas dan terpaksa harus menjalani pengangkatan salah satu payudara.  Bukan hanya itu, pasca operasi tersebut ma’e mendapat bonus kemoterapi selama 8 kali untuk mematikan cucu cicit sel ajaib yang masih bersarang di dalam sana. Berat pastinya beban mental yang harus dihadapi ma’e. Mendapati ada sel ganas yang terus saja menggerogoti serta menumpang hidup dalam dadanya. Pastilah jauh di lubuk hati ma’e tersisip cemas, takut juga sedih. Belum lagi efek samping yang harus dirasa, siapapun pasti tahu kemo bisa membuat pasiennya justru terpuruk lebih hebat sebab rasa tidak nyaman yang ditimbulkan. Tapi ma’e mampu mengemas segalanya tampak baik-baik saja. 
Ingin rasanya aku menemani hari-harinya saat menjalani semua proses terapi. Tapi bapak melarangku pulang. Saat itu belum waktunya libur semester, banyak tugas yang harus aku selesaikan. Dan bapak sepertinya tahu betul dengan itu. Aku bisa apa? Dalam setiap pinta, kutitip ma’e pada Allah Yang Maha Menguasai Kehidupan. Aku menyebut namanya berulang-ulang dalam sedu sedan yang sungguh-sungguh, agar ma’e  diberi kesembuhan dan kesabaran akan penyakitnya. 
Ada satu hari dimana aku berkesempatan pulang, menjenguk ma’e di rumah. Aku tergugu melihat penampilan baru ma’e, ada rasa nyeri yang sangat di dalam sini. Kedua alisnya tak bersisa lagi, bersih sebersih-bersihnya. Bahkan rambut yang biasanya tergerai indah kini tak tampak apapun di sana. Raut wajahnya mengesankan kelelahan luar biasa, mungkin juga sakit, perih dan entah apalagi. Pipi yang merona dulu hanya menyisakan warna pucat dengan kerut yang makin nampak tegas. Rupanya kemoterapi telah benar-benar merenggut keayuan ma’eku.

Pasang surut harapan ma'e

Kemoterapi, salah satu terapi medis untuk penderita kanker yang kerjanya mematikan sel, bukan hanya sel kanker tetapi juga sel hidup lainnya. Oleh sebab itu pasien yang sedang menjalani kemoterapi ini kondisi tubuhnya sangat lemah. Banyak sel sehat ikut mati karenanya. Efek lain yang kadang pula menyertai yaitu diare parah, kuku kehitaman, rambut rontok, dan lain-lain. 
Saat kemoterapi

Dalam kondisinya yang kian terpuruk, aku berusaha mencandai ma’e sebisaku. Jujur saja, aku bisa melihat gurat-gurat putus asa di sana. Di wajahnya yang kian hari kian layu. Bukan, bukan cuma rasa sakit yang diderita membuat ma’e seakan hancur dan tak punya semangat lagi. Tapi, mungkin juga karena kesepian. Rasa tersisih sebab lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, kesendirian menghadapi nyeri yang datang berulang, juga kerinduan akan canda tawa kami anak-anak  ma’e yang kini tinggal berbeda kota. Rasa sepi kadang memang jadi pembunuh yang lebih kejam dari apapun. 

Delapan kali kemoterapi dijalaninya dengan ketabahan. Paling terpenting adalah kehadiran sosok pahlawan, sang Arjuna yang senantiasa menyemangati. Dialah Bapak. Bapak dengan sabar menemani saat ma’e di rumah sakit. Antre kamar sampai harus menginap di penginapan yang disediakan RS sudah biasa. Pernah juga gagal kemo karena kondisi fisik ma’e yang tak bisa ditebak. Padahal jarak antara rumah dengan RS umum tempat ma’e terapi sangat jauh. Butuh waktu 4 sampai 5 jam perjalanan.  Padahal antre pendaftaran harus dilakukan pagi hari menghindari mengularnya antrean, sehingga dini hari sekitar jam 3 bapak dan ma’e sudah berangkat dari rumah.
Antre untuk kemoterapi

Belum lagi setelah kemoterapi selesai ma’e harus tetap konsumsi obat setiap hari selama lima tahun. Pastilah perjungan semacam itu tidak dapat dilalui tanpa dukungan dari orang terdekat. Satu hal yang aku garis bawahi dan merupakan hal terpenting yang dibutuhkan pasien kanker adalah jangan biarkan kesepian membunuhnya lebih cepat daripada kanker itu sendiri. Mungkin itu jugalah yang membuat ma’e bisa bertahan sejauh ini.
Ma'e dan Sang Arjuna

Malah kini ma’e tampak lebih sehat dan semangat daripada sebelum terdiagnosa kanker. Bahkan ketika bertemu saudara atau teman penyintas kanker, ma’e terus menyemangati mereka. Membuktikan bahwa ma’e bisa, insyaAllah mereka juga bisa. 
Tahun 2019 adalah tahun terakhir pengobatan ma’e, alhamdulillah badai itu akhirnya berlalu. Bulan lalu hasil kontrol dan cek laboratorium terakhir menunjukkan tanda-tanda membaik dan ma’e dinyatakan sehat. Bulan desember ini adalah bulan terakhir ma’e harus mengkonsumsi obat.
Doakan semoga ma’e tetap bisa bertahan. Segala hal akan menjadi mudah saat kita dekat dengan Allah. Dengan dititipi kanker, ma’e menjadi lebih dekat pada Allah. Tampak dengan bertambahnya ibadah yang dijalani dan kewajiban serta sunah-sunah yang mulai ma’e rutinkan. Kekuatan doa, kesungguhan ikhtiar pengobatan, keyakinan akan kesembuhan, dan motivasi  dari keluarga adalah sumber kekuatan untuk bisa keluar dari kondisi rumit penyintas kanker. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar